Senin, 05 Desember 2011

Peran Media terhadap Perkembangan Fashion di Indonesia


Fashion merupakan gaya hidup yang diaplikasikan dalam cara seseorang mengenakan aksesoris, pakaian, atau bahkan dalam bentuk tatanan rambut, dan make up, dll. Perkembangan fashion yang semakin hari semakin pesat dan silih berganti membuat masyarakatnya mau tidak mau mengikuti perkembangan fashion yang ada. bahkan bukan sekedar mengikuti namun sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat modern di masa sekarang untuk bergaya dan trendi. Misalnya cara berpakaian yang setiap masa berubah mengikuti mode yang sedang menjadi tren seperti pada tahun 80 an, celana cutbray dan gaya ala ala Michael Jackson menjadi tren saat itu. Tren fashion sekarang ini pun tidak melulu gaya atau model baru yang diproduksi namun juga banyak model-model lama yang sekarang kembali diangkat oleh produsen.
Factor yang membuat fashion semakin berkembang diantaranya adalah adanya permintaan atau tingkat konsumtif masyarakat yang menjadikan fashion sebagai suatu kebutuhan di era modern ini. Dengan memanfaatkan ini produsen atau kaum industry kapitalis dapat dengan mudah membaca situasi seperti sekarang ini, dimana masyarakat menjadikan fashion ini sebagai suatu kebutuhan. Dengan menggunakan media sebagai suatu alat yang dapat memberikan informasi akan apa yang sedang menjadi trend dan termasuk mempengaruhi masyarakat untuk dapat mengikuti tren fashion terbaru. Kaum industry kapitalis jelas hanya memantau dan mendapatkan keuntungan yang besar dari fashion ini.
Mereka melabeli merk-merk ternama dan artis internasional menjadi salah satu modelnya membuat masyarakat khususnya mengikuti gaya artis-artis tersebut dengan membeli produk-produk yang dijual.
Dengan adanya media, masyarakat menyamakan cara berpakaian mereka seperti apa yang dikenakan idolanya masing-masing. Hal ini terbukti bahwa apa saja sekarang menjadi pusat perhatian di media-media dan dijadikan acuan oleh masyarakat. Walaupun tidak semuanya terpengaruh namun sebagian besar mereka masuk ke dalam area kapitalis.
Komoditas ini tercipta karena adanya peran media yang mempengaruhi masyarakat sebagai konsumen untuk mengikuti tren yang dibangun oleh merk-merk pakaian ternama di dunia. Kerjasama yang bagus membuat banyak masyarakat yang mengikuti tren pakaian saat ini. Jelas fenomena ini menjadi komoditas di era modern seperti sekarang ini dan ditambah juga peran media yang ikut menyebarkan kapitalis. Saat ini pun banyak kita temui media yang mengkhususkan membahas perkembangan fashion dan lifestyle. Contoh lain yaitu beberapa waktu lalu munculnya boyband bernama SM*SH dengan penampilan yang menarik atau berpenampilan dengan gaya ala penyanyi atau boyband korea meramaikan acara-acara media. Menggunakan pakaian yang dibilang gaul atau glamour, mereka bernyanyi sambil berkoreografi. Walaupun banyak remaja yang menganggap mereka sebelah mata karena suaranya biasa saja, lagunya tidak berkualitas atau sering dibilang nggak banget oleh para remaja dan cenderung tidak terlihat seperti pemain band-band lain yang terlihat macho. Namun terlepas dari itu semua gaya mereka yang sering menghiasi layar kaca tak bisa dipungkiri menjadi tren pada masa sekarang.
Selain itu, banyak factory outlet yang berdiri di sepanjang jalan HR. Boenyamin. Rata-rata baju yang ada di toko mereka pun hampir sama dengan yang ada di toko lainnya. Pembelinya pun sebagian besar kalangan remaja dan mahasiswa. Ketika saya datang ke toko-toko tersebut saya baru menyadari bahwa sebagian dari pembeli termasuk saya memilih gaya berpakaian serupa, walaupun pakaian yang dipakai tidak sama.
FTV yang saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama remaja juga merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap cara berpakaian masayarakat untuk bisa menyamai cara berpakaian artis yang ditampilkan. Apalagi FTV kebanyakan ini menyentuh emosi penonton dengan alur ceritanya yang pas sekali dengan masa sekarang ini. penonton seakan diberi gambaran nyata mengenai tren yang mereka anggap benar dan harus diikuti setelah menyaksikan acara-acara tsb. Gengsi merupakan ukuran utama dalam mengekspresikan perasaan masyarakat penikmat FTV.
Penjelasan di atas merupakan contoh nyata yang dilakukan produsen dalam pembentukan pola pikir masyarakat dalam berpakaian. Pembentukan pola pikir itu sendiri akhirnya menimbulkan pasar di kalangan masyarakat yang merupakan komoditas produsen pakaian ternama dan tanpa disadari, masyarakat membiarkan pikirannya dikuasai oleh praktek-praktek kapitalis.
Produk nyata media sebagai pengaruh mudah sekali didapatkan, dari media cetak sampai media elektronik. Apalagi sekarang ditunjang dengan kemudahan teknologi dengan jaringan internet, masyarakat tidak harus mengeluarkan uang untuk mengetahui perkembangan tren berpakaian dunia. Mereka cukup mengakses situs yang ada di internet.
Kapitalisme ini bukan hanya menguntungkan produsen pakaian namun media pun ikut diuntungkan karena adanya peningkatan pemasukan dari banyaknya masyarakat yang membeli media mereka untuk sekedar mengetahui bahkan membutuhkan informasi mengenai fashion terbaru. Masyarakat jelas rugi karena ia tidak sadar bahwa telah masuk pada area kapitalis dan mereka seperti dijadikan robot penghasil uang oleh media.
Seperti yang apa yang menjadi perhatian Adorno mengenai budaya massa. Fenomena di atas merupakan salah satu contoh budaya massa dimana partisipasi konsumen terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli , mengikuti tren atau tidak mengikuti tren fashion saat ini. budaya massa merupakan hasil yang diproduksi untuk mencapai keuntungan semata. Seperti yang diungkapkan Adorno dan Horkheimer, industry budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas, dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan (Sindhunata, 1983). 
Dalam konsep industry budaya, Horkheimer dan Adorno mengacu kepada cara di mana hiburan dan media massa menjadi industry pada kapitalisme pasca perang dunia II baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Agger, 2003). Walter Benjamin dalam (Agger, 2003) berpandangan bahwa “reproduksi mekanis budaya”, yang disebarkan dalam media cetak dan elektronik, memiliki potensi untuk menyebarkan pesan kritis dan kebebasan. Media sebagai alat yang dijadikan masyarakat untuk memperoleh informasi di satu sisi menyebarkan pesan kritis dan kebebasan namun dalam hal lain dengan media, masyarakat menjadi semakin konsumtif karena apa yang diberitakan media saat ini, masyarakat membutuhkan media dan masyarakat mengikuti apa yang menjadi bahan informasi atau fashion yang diberitakan di media.
Media itu sendiri dapat berupa media cetak seperti Koran, majalah, tabloid, dll, dan media elektronik seperti, televise, radio, internet, dll. Kehadiran televisi merupakan tanda dari perubahan peradaban dari suatu ujung garis kontinuum budaya ke ujung garis kontinuum yang lain (Abdullah, 2006). Televisi telah banyak mempengaruhi ruang-ruang social masyarakat dan tentunya membawa efek yang sangat bervariasi sifatnya dalam kebudayaan. Terlihat bahwa televisi lama- kelamaan telah menjadi pusat titik intraksi dan pembentukan nilai. Tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu luang paling populer di dunia.
Industry budaya telah menjadi factor ekonomis dan politis yang krusial pada masa kapitalisme akhir, yang mengalihkan perhatian orang dari masalah yang sebenarnya mereka alami, menawarkan solusi palsu yang diproyeksikan ke dalam kehidupan karakter fiktif dan terkodekan ke dalam harmoni manis music (Agger, 2003). Tren fashion mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah yang mereka alami yaitu masyarakat dijadikan korban dari teknologi dan kapitalisme. Masyarakat seperti terbuai oleh merk atau brand ternama dunia dan menyebabkan meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat itu sendiri. Dengan seperti ini, media pun memperoleh banyak keuntungan karena semakin banyaknya masyarakat yang terbuai akan fashion yang menjadi kebutuhan.
Lebih lanjut dalam pandangan Leavis dan oleh Mazab Frankfurt dikatakan bahwa budaya pop adalah yang memandang budaya berbasis komoditas sebagai suatu yang tidak autentik, manipulatif dan tidak memuaskan. Argumennya adalah ‘budaya massa’ kapitalis yang terkomodifikasi tidak autentik karena tidak dihasilkan oleh ‘masyarakat’, manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar dibeli, dan tidak memuaskan karena selain mudah dikonsumsi, ia pun tidak mensyaratkan terlalu banyak kerja dan gagal memperkaya konsumennya (Barker, 2000).
Perilaku masyarakat yang konsumtif ini pun menunjukkan bahwa masyarakat modern memiliki sifat hedonis. Namun Marcuse pun memiliki pandangan lain tentang hedonis untuk mencapai kebahagiaan. “Aspek apologetic hedonism”, kata Mercuse dapat ditemukan dalam konsepsi abstrak hedonism tentang sisi subyektif kebahagiaan, dan mampu membedakan antara keinginan dan kepentingan asli dengan yang palsu serta antara kenikmatan asli dengan kenikmatan palsu (Martinjay, 2005).

Kamis, 08 September 2011

libur semester 4 ituuuuu .......

Okay, libur semester 4 bakalan berakhir dalam hitungan hari ke depan , and welcome semester 5 :))
Libur semester genap kali ini gue pake untuk pulang dan ngerasain bulan puasa di rumah setelah 2 kali terlewatkan karena harus di purwokerto dan ikut panitia ospek tahun lalu. Kali ini gue sama sekali lagi ngga mood jadi panitia ospek dan berlama-lama di purwokerto dan memutuskan libur semester 2 bulan ini gue habiskan di depok. Karena gue pikir gue udah terlalu penat dengan materi dan kampus jadi gue perlu liburan.
Hari-hari pertama gue di depok, gue lalui di rumah ajaa, lagi ngga pengen kemana-mana waktu itu lagi pengen nikmatin ada di rumah gue, hehe, dua mingguan deh kayaknya gue diem aja dirumah. Setelah itu baru deh main-main , hang out bareng temen-temen sampe jalan sama brondong gue hahaha, sampe bukpus bareng mereka semuaa. Yang paling gue seneng selama liburan di depok frekuensi gue ketemu sama dia semakin sering, walaupun di purwokerto pun gue masih bisa sama sama dia tapi beda aja rasanya, gue jadi tau rumahnya, tau keluarganya dan tau temen-temen deketnya.
Seneng pake banget doong gue di sini , ya iyalah makan tinggal makan ngga perlu deh ribet segala kalo mau makan harus nyari dulu kaya di sana, terus mau jalan kemana aja banyak tujuannya , serba ada di sini. tapi tapi bukannya gue ngga cinta sama purwokerto loh , gue cinta kok sama kota kecil ini yang bikin gue jadi wanita yang mandiri.
Liburan tinggal beberapa hari lagi, itu tandanya gue harus balik lagi ke purwokerto. Kalo ada aja satu pilihan yang mungkin bisa untuk dipilih, Tuhan aku masih pengen liburan di depok lebih lama lagi. Aku amat teramat merindukan kota ini, 2 bulan belum cukup liburannya ya Allah  tapi impossible yaa, orang udah keputusan rektor tanggal 12 september harus masuk kuliah jadi sama aja liburannya udah selesai, hiks
Okay, hari minggu tanggal 11 september besok gue balik ke purwokerto, ngelanjutin perjuangan gue sebagai mahasiswa, semoga semester 5 kuliah gue semakin lancar, lancar nilai nya lancar lulusnya . amin
Goodbye depok, see you in next holiday
KA SAWUNGGALIH UTAMA PAGI gerbong 1 no 5 A

Rabu, 29 Juni 2011

Review novel Negeri 5 Menara


Novel Negeri 5 Menara ini merupakan kisah nyata seorang A. Fuadi yang sekaligus pengarang novel ini. kisahnya tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstra ketat di Pondok Ma­dani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid Pondok Madani, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai, Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses). 
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri Pondok Madani yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang genius, tapi sebuah profesi sendiri karena dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunya Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama yang terkenal yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang. 
Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di Pondok Madani, setelah itu mereka wajib berbicara da­lam bahasa Arab atau bahasa Ing­gris. Bila aturan dilanggar, gan­jarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-ku­rangnya bakal dapat jeweran be­ran­tai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Sa­king kerasnya kemauan para sa­hibul-menara (keenam santri) untuk menguasai per­cakapan dalam dua bahasa a­sing tersebut, dalam tidurnya pun me­reka mengigau dalam baha­sa Arab. 
Dengan deskripsi ruang yang nya­ris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pe­santren modern yang selama ini ha­nya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan sendu kaum santri dengan hu­mor khas pesantren ditambahkan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. 
Tak dipungkiri bahwa di balik ki­sah yang digarap A. Fuadi dalam bu­­­ku ini, ada pengalaman empiris, ka­­­takanlah semacam fakta-fakta ke­­ras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi awal pe­­ngi­sa­hannya. Tapi, dalam kerja ke­pe­ngarangan, fakta-fakta itu dihancurkan oleh ima­ji­nasi sehingga tidak bisa lagi di­lihat de­ngan kacamata hitam-pu­tih, tidak bisa diukur secara positi­vistik. ''Ima­jinasi'' di sini bukan da­­lam pemahaman yang menyehari.
Maka, dunia imajiner dalam Ne­ge­ri 5 Menara bukan lagi semata-ma­ta dunia A. Fuadi dan rekan-rekannya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di Pondok Madani berlalu telah terbukti sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. contohnya Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya Man Jadda Wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses
            Man jadda wajada (siapa yang bersungguh- sungguh, akan berhasil). Mantra berbahasa Arab ini sepertinya akan sering dibaca. Diam-diam, dihapal dalam hati, atau bahkan diteriakkan dengan kencang oleh jutaan orang yang masih memiliki harapan dan impian untuk berubah menjadi lebih baik, bagi dirinya pun bagi masyarakat.
Bukan hasil akhir para tokohnya yang membuat Negeri 5 Menara menarik dibaca dan menjadi santapan nikmat penyejuk jiwa. Proses, perjuangan, dan ikhtiar mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi, selain mantra man jadda wajada, pembaca juga disuguhi kutipan-kutipan penuh motivasi di setiap babnya. Misalnya, Ustaz Salman sebagai wali kelas membakar semangat anak didiknya agar tetap konsisten dalam belajar (hal 108) mengatakan, ”Pilihlah suasana hati kalian dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian. Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya adalah hati orang sukses.” Atau, saat Said, sahibul menara yang paling tua, memotivasi teman-temannya (hal 383). ”Saajtahidu fauqa mustawal al-akhar, aku akan berjuang di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,00 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan”.
Latar belakang cerita, yaitu pondok, juga menjadikan novel ini istimewa. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu alumnus pesantren serasa diajak bernostalgia dengan semua aktivitas mereka selama 24 jam dan tujuh hari seminggu dalam suasana kebersamaan yang pernah mereka rasakan dulu. Bila belum mengenal pondok dan hanya mendengar melalui pemberitaan, melalui mata Alif dalam gaya tulisan Fuadi yang detail, pembaca diajak mengetahui kehidupan di dalamnya yang sangat dinamis.
Secara nilai nilai, novel ini bisa dibilang cukup menginspirasi. Usaha untuk terus mencapai cita-cita. Kegigihan para pejuang Allah menuntut ilmu dari pagi hingga pagi berikutnya. Persaudaraan yang erat di tanah perantauan. Keikhlasan menerima hukuman bila kita bersalah. Kecemerlangan dan wakaf diri pengajar pondok. Dan tentu saja Semboyan Man Jadda Wajada bertebaran sebagai pengingat bahwa mereka yang berhasil adalah mereka yang bersungguh-sungguh
Novel ini mengubah anggapan masyarakat bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu diucapkan kata-kata mantra Man Jadda Wajadda jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
Selain itu yang menarik dari novel ini, di lembar-lembar terakhir disertakan opini-opini para tokoh dari orang-orang penting dan pintar yakni B.J. Habibie namun juga opini masyarakat biasa yang hamper semuanya menyukai dan memberikan masukan serta apresiasi positif untuk novel ini.

Selasa, 24 Mei 2011

Sosiologi Dramaturgi


         Sosiologi dramaturgi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Erving Goffman sering diibaratkan sebagai sebuah pertunjukkan yang dimainkan oleh actor di atas panggung.  Pembahasan ini sering dikaitkan dengan interaksionisme simbolik, di mana terjadinya interaksi dua arah lewat symbol. Inti pemikiran Goffman adalah diri. Konsep diri milik Mead khususnya konsep tentang aku sebagai I, dan aku/kita sebagai me juga terlihat dalam pandangan Goffman. Hal ini disebabkan apa yang diharapkan orang tentang perilaku kita dengan perilaku yang kita lakukan secara spontan. Kita diharapkan untuk tidak ragu dalam berprilaku seperti apa yang diharapkan dari kita. Untuk  menjaga pencitraan diri yang stabil yaitu melalui pertunjukan di depan orang banyak.
            Dramaturgis menekankan pada impression management, bagaimana kesan yang hendak kita bangun dalam menjalankan peran melalui kesetiaan, kedisiplinan, kehati-hatian atau istilah lainnya jaim. Seperti konsep Cooley, The looking glass self. Ketika kita bercermin, ada tiga yang perlu kita perhatikan, bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana orang lain melihat diri kita dan bagaimana kita mengembangkan perasaan diri kita.
            Teori diri yang dikembangkan Mead lebih menganggap jika diri besikap social, dan berjangka waktu lama, namun Goffman juga menganggap diri bersikap social, bahkan individu tidak mengambil peran orang lain melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapi citra diri tersebut dan berjangka waktu yang singkat karena dalam bermain peran selalu dituntut untuk berganti-ganti peran social yang berlainan setiap episodenya. Diri bukan merupakan individu melainkan hanya sebuah pinjaman orang lain kepadanya, bagi Goffman.
            Di dalam dramaturgi terdapat front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Sebelum sampai pada definisi itu, terdapat personal front di mana, perlengkapan ekspresif dapat diidentifikasikan oleh penonton dan diharapkan ada pada diri actor. Seperti contohnya polisi harus mengenakan pakaian dinas saat bertugas. Selain karena penampilannya. Perlengkapan yang dapat menunjukkan peran yang dimainkan oleh actor. Misalnya alat atau perlengkapan militer. Setelah itu Manner yang di mana peran yang diharapkan dimainkan oleh actor. Misalnya Polisi harus tampak berwibawa di dalam menjalankan perannya.
            Front stage merupakan panggung depan di mana kita memainkan peranan kita di dalam situasi tertentu di depan penonton. Front stage memiliki karakter di antaranya terlembaga atau mewakili kepentingan organisasi, menetapkan bukan membuat, dan tersembunyi. Misalnya seorang dokter yang di depan pasiennya harus optimis dan menenangkan pasien maupun keluarganya kalau operasi yang akan dilaksanakan akan baik-baik saja.
Back stage merupakan wilayah pertunjukkan yang tidak boleh dilihat oleh orang dan tidak mungkin dipertontonkan di front stage. Back stage seseorang yaitu di mana seseorang tidak memainkan perannya atau front stage nya di manapun ia berada. Misalnya seorang dokter yang di depan pasiennya harus menenangkan pasiennya dan optimis namun ketika tidak ada pasien, di dalam hatinya memiliki rasa takut jika terjadi kegagalan dalam menjalankan sebuah operasi. Back stage dokter tersebut yaitu saat dokter itu tidak memainkan perannya sebagai dokter yang harus optimis dan menenangkan semua pasiennya di depan pasien. Atau contoh lain yang pernah saya alami menjadi tatib di panitia ospek, front stage saya di mana saya harus memainkan peran saya sebagai tatib dengan pakaian hitam-hitam yang mengharuskan saya galak, berwibawa, tegas, dan bernada keras atau tinggi jika berbicara di depan peserta ospek. Lalu back stage saya ketika saya tidak memainkan peran saya sebagai tatib, misalnya saya bebas tertawa, bercanda, dan menghilangkan peran saya sebagai tatib di basecamp bersama rekan tatib yang lain.
Salah satu langkah yang paling penting bahwa pelaku maupun penonton yakin bahwa bagian belakang tidak mudah dimasuki. Bilamana terdapat pihak luar dan interaksi harus diteruskan (seperti ketika dua kelompok yang duduk salin berdekatan di dalam suatu restoran), maka kebijaksanaan itu akan memaksa agar para pelaku menjaga pertunjukkan masing-masing (Margaret M. Poloma, 2010:235). Back stage maupun front stage tidak terikat dengan tempat dan waktu. Bisa kapan dan dimanapun tergantung kesan apa yang ingin kita bangun pada situasi tertentu. Selain itu antara back stage dan front stage bisa dibalik-balik, misalnya ketika saya sebagai mahasiswa sosiologi di kampus dengan saya sebagai anak kost an, belum tentu front stage saya pada saat saya sebagai mahasiswa sosiologi di kampus, dan belum tentu juga back stage saya ketika saya berada di kost an. Hal ini tergantung dengan image apa yang ingin kita bangun pada situasi tertentu.
            Dalam dramaturgi juga terdapat outside yang merupakan wilayah pertunjukkan di mana penonton sulit untuk memahami situasi. Saya ambil contoh seorang briptu Norman Kamaru dengan lihainya menyanyikan lagu india dan memeragakannya seperti penyanyi india lalu membuatkan videonya dan menguploadnya ke youtube. Dalam hal ini penonton bingung dan sulit memahami situasi. Seorang briptu dengan pencitraan yang gagah, berani, berwibawa dan biasa bertugas di medan perang tiba-tiba berprilaku seperti layaknya penyanyi atau entertainer.
            Focus perhatian Goffman bukanlah hanya individu saja namun juga kelompok atau di sebut dengan tim. Selain membawakan peran secara individu namun actor social juga mampu mengelola kesan apa yang dibangun terhadap kelompoknya. Kerjasama tim biasanya menjaga penampilan agar di lihat kompak. Seperti seorang dokter dengan suster yang bekerja sama dan kompak dalam memeriksa pasien, seperti dosen TSM dan tutor atau asdos yang bekerja sama dalam suatu tim dengan kompak mengajar atau membimbing mahasiswanya dalam belajar dan memahami mata kuliah TSM.
            Terdapat juga kritis terhadap dramaturgi Goffman. Pendekatan Goffman merupakan pergeseran ke arah humanisme dan penghindaran dari model ilmiah (Margaret M. Poloma, 2010:247). Ia lebih menyukai mempelajari manusia dibanding abstraksi perilaku manusia serta proposisi maupun teori-teori yang sudah diketahui. Goffman memang membahas tindakan namun ia gagal membahas interaksi. Karena dalam dramaturgi ini lebih tepat jika berbicara tindakan. Image atau tindakan apa yang kita lakukan di dalam membangun kesan yang kita inginkan saat itu. Mengapa Goffman dikatakan gagal membahas interaksi, karena di sini bukan suatu interaksi yang dibangun, melainkan lebih kepada tindakan apa yang akan kita bangun pada situasi tertentu. Pandangannya tentang manusia sebagai “calon bintang” merupakan suatu hal yang meyakinkan bagi orang lain yang juga merupakan suatu ketentuan yang meninggalkan structural fungsionalis. Bagi Goffman manusia dilingkupi oleh berbagai jenis kesan yang mereka ciptakan untuk orang lain (Margaret M. Poloma, 2010:248).


Daftar Pustaka
Poloma, Margaret M., 2010, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Yogyakarta