Rabu, 29 Juni 2011

Review novel Negeri 5 Menara


Novel Negeri 5 Menara ini merupakan kisah nyata seorang A. Fuadi yang sekaligus pengarang novel ini. kisahnya tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstra ketat di Pondok Ma­dani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid Pondok Madani, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai, Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses). 
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri Pondok Madani yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang genius, tapi sebuah profesi sendiri karena dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunya Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama yang terkenal yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang. 
Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di Pondok Madani, setelah itu mereka wajib berbicara da­lam bahasa Arab atau bahasa Ing­gris. Bila aturan dilanggar, gan­jarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-ku­rangnya bakal dapat jeweran be­ran­tai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Sa­king kerasnya kemauan para sa­hibul-menara (keenam santri) untuk menguasai per­cakapan dalam dua bahasa a­sing tersebut, dalam tidurnya pun me­reka mengigau dalam baha­sa Arab. 
Dengan deskripsi ruang yang nya­ris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pe­santren modern yang selama ini ha­nya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan sendu kaum santri dengan hu­mor khas pesantren ditambahkan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. 
Tak dipungkiri bahwa di balik ki­sah yang digarap A. Fuadi dalam bu­­­ku ini, ada pengalaman empiris, ka­­­takanlah semacam fakta-fakta ke­­ras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi awal pe­­ngi­sa­hannya. Tapi, dalam kerja ke­pe­ngarangan, fakta-fakta itu dihancurkan oleh ima­ji­nasi sehingga tidak bisa lagi di­lihat de­ngan kacamata hitam-pu­tih, tidak bisa diukur secara positi­vistik. ''Ima­jinasi'' di sini bukan da­­lam pemahaman yang menyehari.
Maka, dunia imajiner dalam Ne­ge­ri 5 Menara bukan lagi semata-ma­ta dunia A. Fuadi dan rekan-rekannya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di Pondok Madani berlalu telah terbukti sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. contohnya Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya Man Jadda Wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses
            Man jadda wajada (siapa yang bersungguh- sungguh, akan berhasil). Mantra berbahasa Arab ini sepertinya akan sering dibaca. Diam-diam, dihapal dalam hati, atau bahkan diteriakkan dengan kencang oleh jutaan orang yang masih memiliki harapan dan impian untuk berubah menjadi lebih baik, bagi dirinya pun bagi masyarakat.
Bukan hasil akhir para tokohnya yang membuat Negeri 5 Menara menarik dibaca dan menjadi santapan nikmat penyejuk jiwa. Proses, perjuangan, dan ikhtiar mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi, selain mantra man jadda wajada, pembaca juga disuguhi kutipan-kutipan penuh motivasi di setiap babnya. Misalnya, Ustaz Salman sebagai wali kelas membakar semangat anak didiknya agar tetap konsisten dalam belajar (hal 108) mengatakan, ”Pilihlah suasana hati kalian dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian. Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya adalah hati orang sukses.” Atau, saat Said, sahibul menara yang paling tua, memotivasi teman-temannya (hal 383). ”Saajtahidu fauqa mustawal al-akhar, aku akan berjuang di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,00 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan”.
Latar belakang cerita, yaitu pondok, juga menjadikan novel ini istimewa. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu alumnus pesantren serasa diajak bernostalgia dengan semua aktivitas mereka selama 24 jam dan tujuh hari seminggu dalam suasana kebersamaan yang pernah mereka rasakan dulu. Bila belum mengenal pondok dan hanya mendengar melalui pemberitaan, melalui mata Alif dalam gaya tulisan Fuadi yang detail, pembaca diajak mengetahui kehidupan di dalamnya yang sangat dinamis.
Secara nilai nilai, novel ini bisa dibilang cukup menginspirasi. Usaha untuk terus mencapai cita-cita. Kegigihan para pejuang Allah menuntut ilmu dari pagi hingga pagi berikutnya. Persaudaraan yang erat di tanah perantauan. Keikhlasan menerima hukuman bila kita bersalah. Kecemerlangan dan wakaf diri pengajar pondok. Dan tentu saja Semboyan Man Jadda Wajada bertebaran sebagai pengingat bahwa mereka yang berhasil adalah mereka yang bersungguh-sungguh
Novel ini mengubah anggapan masyarakat bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu diucapkan kata-kata mantra Man Jadda Wajadda jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
Selain itu yang menarik dari novel ini, di lembar-lembar terakhir disertakan opini-opini para tokoh dari orang-orang penting dan pintar yakni B.J. Habibie namun juga opini masyarakat biasa yang hamper semuanya menyukai dan memberikan masukan serta apresiasi positif untuk novel ini.