Senin, 05 Desember 2011

Peran Media terhadap Perkembangan Fashion di Indonesia


Fashion merupakan gaya hidup yang diaplikasikan dalam cara seseorang mengenakan aksesoris, pakaian, atau bahkan dalam bentuk tatanan rambut, dan make up, dll. Perkembangan fashion yang semakin hari semakin pesat dan silih berganti membuat masyarakatnya mau tidak mau mengikuti perkembangan fashion yang ada. bahkan bukan sekedar mengikuti namun sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat modern di masa sekarang untuk bergaya dan trendi. Misalnya cara berpakaian yang setiap masa berubah mengikuti mode yang sedang menjadi tren seperti pada tahun 80 an, celana cutbray dan gaya ala ala Michael Jackson menjadi tren saat itu. Tren fashion sekarang ini pun tidak melulu gaya atau model baru yang diproduksi namun juga banyak model-model lama yang sekarang kembali diangkat oleh produsen.
Factor yang membuat fashion semakin berkembang diantaranya adalah adanya permintaan atau tingkat konsumtif masyarakat yang menjadikan fashion sebagai suatu kebutuhan di era modern ini. Dengan memanfaatkan ini produsen atau kaum industry kapitalis dapat dengan mudah membaca situasi seperti sekarang ini, dimana masyarakat menjadikan fashion ini sebagai suatu kebutuhan. Dengan menggunakan media sebagai suatu alat yang dapat memberikan informasi akan apa yang sedang menjadi trend dan termasuk mempengaruhi masyarakat untuk dapat mengikuti tren fashion terbaru. Kaum industry kapitalis jelas hanya memantau dan mendapatkan keuntungan yang besar dari fashion ini.
Mereka melabeli merk-merk ternama dan artis internasional menjadi salah satu modelnya membuat masyarakat khususnya mengikuti gaya artis-artis tersebut dengan membeli produk-produk yang dijual.
Dengan adanya media, masyarakat menyamakan cara berpakaian mereka seperti apa yang dikenakan idolanya masing-masing. Hal ini terbukti bahwa apa saja sekarang menjadi pusat perhatian di media-media dan dijadikan acuan oleh masyarakat. Walaupun tidak semuanya terpengaruh namun sebagian besar mereka masuk ke dalam area kapitalis.
Komoditas ini tercipta karena adanya peran media yang mempengaruhi masyarakat sebagai konsumen untuk mengikuti tren yang dibangun oleh merk-merk pakaian ternama di dunia. Kerjasama yang bagus membuat banyak masyarakat yang mengikuti tren pakaian saat ini. Jelas fenomena ini menjadi komoditas di era modern seperti sekarang ini dan ditambah juga peran media yang ikut menyebarkan kapitalis. Saat ini pun banyak kita temui media yang mengkhususkan membahas perkembangan fashion dan lifestyle. Contoh lain yaitu beberapa waktu lalu munculnya boyband bernama SM*SH dengan penampilan yang menarik atau berpenampilan dengan gaya ala penyanyi atau boyband korea meramaikan acara-acara media. Menggunakan pakaian yang dibilang gaul atau glamour, mereka bernyanyi sambil berkoreografi. Walaupun banyak remaja yang menganggap mereka sebelah mata karena suaranya biasa saja, lagunya tidak berkualitas atau sering dibilang nggak banget oleh para remaja dan cenderung tidak terlihat seperti pemain band-band lain yang terlihat macho. Namun terlepas dari itu semua gaya mereka yang sering menghiasi layar kaca tak bisa dipungkiri menjadi tren pada masa sekarang.
Selain itu, banyak factory outlet yang berdiri di sepanjang jalan HR. Boenyamin. Rata-rata baju yang ada di toko mereka pun hampir sama dengan yang ada di toko lainnya. Pembelinya pun sebagian besar kalangan remaja dan mahasiswa. Ketika saya datang ke toko-toko tersebut saya baru menyadari bahwa sebagian dari pembeli termasuk saya memilih gaya berpakaian serupa, walaupun pakaian yang dipakai tidak sama.
FTV yang saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama remaja juga merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap cara berpakaian masayarakat untuk bisa menyamai cara berpakaian artis yang ditampilkan. Apalagi FTV kebanyakan ini menyentuh emosi penonton dengan alur ceritanya yang pas sekali dengan masa sekarang ini. penonton seakan diberi gambaran nyata mengenai tren yang mereka anggap benar dan harus diikuti setelah menyaksikan acara-acara tsb. Gengsi merupakan ukuran utama dalam mengekspresikan perasaan masyarakat penikmat FTV.
Penjelasan di atas merupakan contoh nyata yang dilakukan produsen dalam pembentukan pola pikir masyarakat dalam berpakaian. Pembentukan pola pikir itu sendiri akhirnya menimbulkan pasar di kalangan masyarakat yang merupakan komoditas produsen pakaian ternama dan tanpa disadari, masyarakat membiarkan pikirannya dikuasai oleh praktek-praktek kapitalis.
Produk nyata media sebagai pengaruh mudah sekali didapatkan, dari media cetak sampai media elektronik. Apalagi sekarang ditunjang dengan kemudahan teknologi dengan jaringan internet, masyarakat tidak harus mengeluarkan uang untuk mengetahui perkembangan tren berpakaian dunia. Mereka cukup mengakses situs yang ada di internet.
Kapitalisme ini bukan hanya menguntungkan produsen pakaian namun media pun ikut diuntungkan karena adanya peningkatan pemasukan dari banyaknya masyarakat yang membeli media mereka untuk sekedar mengetahui bahkan membutuhkan informasi mengenai fashion terbaru. Masyarakat jelas rugi karena ia tidak sadar bahwa telah masuk pada area kapitalis dan mereka seperti dijadikan robot penghasil uang oleh media.
Seperti yang apa yang menjadi perhatian Adorno mengenai budaya massa. Fenomena di atas merupakan salah satu contoh budaya massa dimana partisipasi konsumen terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli , mengikuti tren atau tidak mengikuti tren fashion saat ini. budaya massa merupakan hasil yang diproduksi untuk mencapai keuntungan semata. Seperti yang diungkapkan Adorno dan Horkheimer, industry budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas, dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan (Sindhunata, 1983). 
Dalam konsep industry budaya, Horkheimer dan Adorno mengacu kepada cara di mana hiburan dan media massa menjadi industry pada kapitalisme pasca perang dunia II baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Agger, 2003). Walter Benjamin dalam (Agger, 2003) berpandangan bahwa “reproduksi mekanis budaya”, yang disebarkan dalam media cetak dan elektronik, memiliki potensi untuk menyebarkan pesan kritis dan kebebasan. Media sebagai alat yang dijadikan masyarakat untuk memperoleh informasi di satu sisi menyebarkan pesan kritis dan kebebasan namun dalam hal lain dengan media, masyarakat menjadi semakin konsumtif karena apa yang diberitakan media saat ini, masyarakat membutuhkan media dan masyarakat mengikuti apa yang menjadi bahan informasi atau fashion yang diberitakan di media.
Media itu sendiri dapat berupa media cetak seperti Koran, majalah, tabloid, dll, dan media elektronik seperti, televise, radio, internet, dll. Kehadiran televisi merupakan tanda dari perubahan peradaban dari suatu ujung garis kontinuum budaya ke ujung garis kontinuum yang lain (Abdullah, 2006). Televisi telah banyak mempengaruhi ruang-ruang social masyarakat dan tentunya membawa efek yang sangat bervariasi sifatnya dalam kebudayaan. Terlihat bahwa televisi lama- kelamaan telah menjadi pusat titik intraksi dan pembentukan nilai. Tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu luang paling populer di dunia.
Industry budaya telah menjadi factor ekonomis dan politis yang krusial pada masa kapitalisme akhir, yang mengalihkan perhatian orang dari masalah yang sebenarnya mereka alami, menawarkan solusi palsu yang diproyeksikan ke dalam kehidupan karakter fiktif dan terkodekan ke dalam harmoni manis music (Agger, 2003). Tren fashion mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah yang mereka alami yaitu masyarakat dijadikan korban dari teknologi dan kapitalisme. Masyarakat seperti terbuai oleh merk atau brand ternama dunia dan menyebabkan meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat itu sendiri. Dengan seperti ini, media pun memperoleh banyak keuntungan karena semakin banyaknya masyarakat yang terbuai akan fashion yang menjadi kebutuhan.
Lebih lanjut dalam pandangan Leavis dan oleh Mazab Frankfurt dikatakan bahwa budaya pop adalah yang memandang budaya berbasis komoditas sebagai suatu yang tidak autentik, manipulatif dan tidak memuaskan. Argumennya adalah ‘budaya massa’ kapitalis yang terkomodifikasi tidak autentik karena tidak dihasilkan oleh ‘masyarakat’, manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar dibeli, dan tidak memuaskan karena selain mudah dikonsumsi, ia pun tidak mensyaratkan terlalu banyak kerja dan gagal memperkaya konsumennya (Barker, 2000).
Perilaku masyarakat yang konsumtif ini pun menunjukkan bahwa masyarakat modern memiliki sifat hedonis. Namun Marcuse pun memiliki pandangan lain tentang hedonis untuk mencapai kebahagiaan. “Aspek apologetic hedonism”, kata Mercuse dapat ditemukan dalam konsepsi abstrak hedonism tentang sisi subyektif kebahagiaan, dan mampu membedakan antara keinginan dan kepentingan asli dengan yang palsu serta antara kenikmatan asli dengan kenikmatan palsu (Martinjay, 2005).